|
Top 11 versi Putri |
1. Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 (2011)
Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2 memiliki nada penceritaan yang menyerupai bagian awal kisahnya – yang sekaligus membuktikan bahwa Harry Potter and the Deathly Hallows adalah sebuah kesatuan penceritaan yang unik sekaligus akan memberikan efek emosional yang lebih mendalam jika diceritakan dalam satu bagian utuh.
Melanjutkan tepat di bagian dimana The Deathly Hallows – Part 1 berakhir – Harry Potter (Daniel Radcliffe), Ronald Weasley (Rupert Grint) dan Hermione Granger (Emma Watson) baru saja menguburkan Dobby yang terbunuh, The Order of the Phoenix berada dalam keadaan yang kacau balau, dan Voldemort (Ralph Fiennes) baru saja menemukan tongkat sihir terkuat yang pernah ada, The Elder Wand – ketiga sahabat tersebut harus melanjutkan perjalanan mereka dalam menemukan sisa dari horcrux (kepingan jiwa Voldemort) guna membantu usaha mereka untuk melemahkan kondisi Voldemort sehingga lebih mudah untuk dikalahkan.
Anda harus menempatkan diri Anda di posisi Steve Kloves, penulis naskah seri petualangan Harry Potter yang telah mengadaptasi seluruh karya J. K. Rowling (kecuali Harry Potter and the Order of the Phoenix, 2007). Untuk Harry Potter and the Deathly Hallows, Kloves harus mengadaptasi sebuah buku setebal lebih dari 700 halaman menjadi dua buah film yang berdurasi total hampir sepanjang 5 jam. Bukan hal yang mudah, tentu saja, karena setiap halaman Harry Potter and the Deathly Hallows dipenuhi berbagai detil cerita yang cukup kompleks. Mau tidak mau, banyak dari bagian cerita tersebut yang harus dibuang dan tidak digunakan dalam versi filmnya. Hal inilah yang mungkin membuat beberapa karakter terkesan memiliki peran yang kurang begitu mampu ditonjolkan atau beberapa adegan yang terasa berjalan terlalu singkat.
Pujian besar tentu saja harus disematkan pada David Yates yang semenjak mengarahkan Harry Potter and the Order of the Phoenix (2007) selalu berhasil menanamkan kedalaman jalan cerita dan visual yang mengagumkan pada franchise ini. Kerjasamanya dengan sinematografer, Eduardo Serra, juga semakin mengukuhkan tampilan gambar seri Harry Potter and the Deathly Hallows sebagai seri Harry Potter dengan penampilan gambar yang terbaik di antara seri lainnya. Komposer Alexander Desplat juga semakin menambah elegan penceritaan Harry Potter and the Deathly Hallows, membawakan tingkatan emosional yang lebih dalam namun tetap terhindar dari kesan sentimentalitas yang berlebihan.
The Deathly Hallows – Part 2 memberikan sedikit perbaikan dari seri sebelumnya dengan menghadirkan banyak adegan dan visual berintensitas tinggi. Namun secara keseluruhan, Harry Potter and the Deathly Hallows adalah sebuah seri akhir yang mampu menjawab setiap ekspektasi penontonnya akan sebuah akhir dari salah satu seri petualangan terbaik yang pernah hadir di layar lebar.
2. Kungfu Panda
Bujang Dare yang telah menggemari Po dan rekan-rekannya di Kung Fu Panda (2008) kemungkinan besar akan dapat dengan mudah jatuh hati dengan kisah yang disajikan dalam Kung Fu Panda 2, walaupun hal tersebut sama sekali tidak menjadi sebuah pernyataan yang dapat menggambarkan bahwa seri kedua film ini memiliki kualitas yang setara dengan pendahulunya. Penulis naskah, Jonathan Aibel dan Glenn Berger, yang kembali menulis naskah cerita Kung Fu Panda 2d engan bantuan revisi dari Charlie Kaufman, sepertinya tidak ingin memberikan sebuah perubahan drastis pada jalan cerita film ini. Jika Kung Fu Panda mengisahkan mengenai perjalanan Po untuk membuktikan dirinya pada dunia dengan berlatih dan menguasai ilmu beladiri kung fu, maka Kung Fu Panda 2 secara sederhana hanya mengisahkan mengenai sebuah tantangan yang dihadapi Po untuk membuktikan kemampuan kung fu yang ia miliki. Untuk bersaing dengan film-film produksi Disney/Pixar yang seringkali akan membuat hati penontonnya tersentuh, Kung Fu Panda 2 juga mengisahkan sekelumit mengenai masa lalu Po dan pencarian dirinya akan identitas dirinya yang sebenarnya.
Pun begitu, Kung Fu Panda 2 masih mampu hadir dengan beberapa momen yang cukup menyenangkan untuk disaksikan. Mengisi kedataran jalan cerita yang dihadirkan, sutradara debutan Jennifer Yuh Nelson kemudian memolesnya dengan deretan adegan aksi para karakternya yang dihadirkan dengan durasi yang cukup panjang. Walaupun tidak menawarkan sentuhan teknologi yang spektakuler, pewarnaan terang dan sentuhan teknologi 3 dimensi di beberapa bagian berhasil membuat adegan-adegan aksi ini tampil cukup memukau. Tata musik karya Hans Zimmer dan John Powell juga berhasil dalam menambah aliran energi di setiap adegan yang membuat Kung Fu Panda 2 semakin terasa lebih hidup.
Selain karakter suara Gary Oldman dan Michelle Yeoh yang cukup dapat dikenali dan mampu menambah variasi warna dalam perjalanan kisah Kung Fu Panda 2, tidak banyak hal yang dapat dikatakan dari jajaran pengisi suara film ini. Mereka yang masih dapat mentolerir kehadiran suara Jack Black di telinga mereka tentu tidak akan memiliki masalah besar ketika vokal Black menguasai hampir di setiap adegan. Kehadiran beberapa karakter baru – yang diantaranya diisi vokalnya oleh Jean Claude Van Damme, Dennis Haysbert maupun Danny McBride – tidak mampu memberikan suatu tambahan berarti bagi Kung Fu Panda 2 mengingat karakter mereka yang begitu minimal dan memiliki deretan dialog yang sama sedikitnya dengan deretan dialog yang dimiliki Jackie Chan, Seth Rogen, Lucy Liu, David Cross dan Dustin Hoffman.
3. Drive
Dengan naskah yang ditulis oleh Hossein Amini (Shanghai, 2010), Drive berkisah mengenai kehidupan seorang pemuda (Ryan Gosling) yang menjalani kehidupan kesehariannya sebagai seorang mekanik di sebuah bengkel milik Shannon (Bryan Cranston) dan di saat yang sama juga memiliki sampingan sebagai seorang pemeran pengganti di berbagai film Hollywood serta terkadang juga menggunakan kemampuannya yang mengagumkan untuk mengendarai kendaraan bermotor untuk membantu berbagai komplotan perampok dalam menjalankan kejahatan mereka. Pemuda tersebut, yang disepanjang Drive hanya disebut sebagai The Kid, adalah seorang sosok yang tenang, fokus, tidak banyak bicara serta penuh dengan pemikiran mendalam atas setiap pekerjaan yang ia lakukan.
Yang berhasil membuat Drive mampu tampil memikat penontonnya adalah keintiman yang terjalin antara pengarahan Winding Refn dengan naskah cerita yang dihadirkan oleh Amini. Keintiman tersebut kemudian berhasil diterjemahkan dengan sangat sempurna oleh pengarahan Winding Refn terhadap para jajaran pemeran film ini. Ini dapat dilihat dari minimnya dialog yang hadir di film ini. Drive lebih banyak menawarkan adegan aksi daripada deretan dialog antara karakter-karakter yang berada di dalam jalan cerita. Pun begitu, hal ini tidak mengganggu beberapa adegan krusial yang memang membutuhkan chemistry lebih hangat. Lihat saja adegan dimana karakter The Kid yang baru saja pulang dari menghabiskan waktu bersama Irene dan Benicio. The Kid dan Irene terlibat dalam sebuah ‘dialog romansa’ yang sama sekali tidak dihadirkan melalui rentetan dialog, melainkan melalui tatapan mata dan ekspresi mendalam yang dikeluarkan kedua pemeran karakter tersebut. Pengarahan kelas atas tersebut yang menjadikan Drive tidak hanya sebagai sebuah film aksi belaka, namun mampu turut bekerja secara personal bagi penontonnya.
Mendukung naskah cerita yang hadir dengan kuat, karakter-karakter yang diletakkan dalam jalan cerita Drive juga mendapatkan eksplorasi yang begitu sepadan dengan peran mereka dalam jalan cerita. Karakter The Kid merupakan sebuah penggambaran atas sosok pahlawan klasik yang tenang, tidak banyak bicara namun mampu memberikan sebuah pengaruh luar biasa lewat setiap determinasi dan tindakan yang ia ambil. Karakter tersebut mampu dihadirkan begitu kompleks namun tetap bersahaja sehingga dapat dengan mudah menggali hubungan emosional dengan penontonnya. Hubungan emosional tersebut semakin kuat ketika karakter The Kid dipertemukan dengan karakter Irene yang mengeluarkan sisi romansa seorang The Kid. Drive tidak menawarkan deretan adegan romansa yang menohok. Namun lewat dialog dan ekspresi yang berhasil dikeluarkan, berbagai adegan romansa yang hadir mampu tetap tampil intim.
Tidak hanya pada karakter utama. Karakter-karakter pendukung mendapatkan penggalian karakter yang begitu baik. Tidak ada satupun karakter pendukung yang hadir hanya dengan peran minimal dan kurang berarti. Setiap karakter yang hadir mampu diberikan peran yang mendalam dan saling berpengaruh satu sama lain. Dukungan kuat dari kemampuan akting para pengisi departemen akting Drive jugan semakin membuat kehadiran setiap karakter yang ada di dalam jalan cerita film ini menjadi begitu kuat. Mulai dari Albert Brooks, Bryan Cranston, Oscar Isaac, Ron Pearlman, Christina Hendricks hingga Carey Mulligan menghasilkan chemistry yang erat satu sama lain dan tampil begitu meyakinkan.
Selain dukungan naskah dan jajaran pemeran yang tampil begitu kuat, Winding Refn juga berhasil mengemas Drivedengan nuansa ‘80an yang begitu kental yang ia hadirkan lewat pemilihan warna visual yang lembut serta deretan lagu dan musik yang hadir di sepanjang film. Drive juga tetap tidak melupakan akarnya sebagai sebuah film aksi brutal kelas atas dengan menghadirkan deretan adegan penuh kekerasan yang akan mampu membangkitkan adrenalin setiap penontonnya. Drive adalah sebuah perpaduan antara cara penceritaan artistik kelas atas dengan jalan cerita dan tata produksi hiburan yang kemudian menghadirkan sebuah tingkat kualitas akhir yang begitu mengesankan. Cerdas!
4. Transformer: Dark of the Moon
Dengan perantaraan narasi dari Optimus Prime (Peter Cullen), Transformers: Dark of the Moon memulai kisahnya dengan membawa para penontonnya kembali ke awal tahun 1960-an dimana pihak Amerika Serikat dan Uni Sovyet saling bersaing untuk dapat mendarat ke permukaan bulan terlebih dahulu. Persaingan tersebut ternyata tidak hanya terjadi semata karena mempertahankan ego besar dari masing-masing negara. Sebuah pesawat luar angkasa yang berasal dari Cybertron – planet dimana para Transformers berasal – dan membawa sebuah penemuan yang dapat mengakhiri peperangan antara Autobots dan Decepticons jatuh di permukaan bulan. Jatuhnya pesawat luar angkasa tersebut ternyata dapat dideteksi oleh pihak militer Amerika Serikat, yang kemudian secara rahasia meluncurkan misi untuk menyelidiki hal tersebut ke bulan guna mencegah agar pihak Uni Sovyet mendapatkannya terlebih dahulu. Di kemudian hari, berbagai material yang dibawa oleh pesawat luar angkasa asal Cybertron tersebut justru akan memicu perang besar antara Autobots dan Decepticons di atas muka Bumi.
Kembali ke masa saat ini, karakter utama dari franchise Transformers, Sam Witwicky (Shia LaBeouf), dikisahkan telah lulus dari masa kuliahnya, sedang tidak memiliki pekerjaan dan berusaha setengah mati untuk mencarinya, telah melupakan kisah kasihnya dengan Mikaela Banes (Megan Fox) yang dikisahkan memutuskan dirinya serta mendapati dirinya telah berada di atas ranjang dengan seorang wanita yang sama (atau terkadang malah lebih) panasnya dengan Mikaela, Carly Spencer (Rosie Huntington-Whiteley), yang berstatus sebagai kekasihnya saat ini. Sam kemudian menemukan sebuah fakta bahwa Megatron dan Decepticons semenjak lama telah melakukan misi rahasia untuk membunuh setiap orang yang terlibat dalam perjalanan luar angkasa yang dilakukan pihak Amerika Serikat dan Rusia untuk meneliti pesawat luar angkasa Cybertron. Tentu, Sam kemudian melaporkan temuannya ini pada Optimus Prime. Penemuan tersebut kemudian membuka sebuah tabir rahasia lain, bahwa beberapa pihak sedang berusaha untuk meneruskan ras bangsa planet Cybertron dengan memanfaatkan umat manusia di Bumi sebagai korbannya.
5. Mission imposible
Mission: Impossible – Ghost Protocol dibuka dengan adegan penyelamatan yang dilakukan oleh agen Jane Carter (Paula Patton) dan agen Benji Dunn (Simon Pegg) terhadap agen Ethan Hunt (Tom Cruise) yang sedang ditahan di sebuah penjara di Rusia. Namun, misi untuk mengeluarkan Ethan dari penjara tersebut bukanlah satu-satunya misi yang harus dilaksanakan oleh ketiga agen tersebut. Oleh pimpinan Impossible Missions Force, Ethan ternyata ditunjuk untuk memimpin Jane dan Benji untuk menemukan seorang teroris asal Rusia, Kurt Hendricks (Michael Nyqvist), yang berniat untuk mewujudkan adanya perang nulir antara Amerika Serikat dengan Rusia. Sayangnya, Ethan dan kelompoknya kemudian terjebak dalam sebuah perangkap yang membuat mereka justru dijadikan tersangka dan IMF akhirnya ditutup pengoperasiannya oleh pemerintah Amerika Serikat.
Pun begitu, Ethan tidak mau menyerah begitu saja. Dengan bantuan Menteri Pertahanan Negara Amerika Serikat (Tom Wilkinson), yang kemudian memperkenalkan Ethan pada seorang analis intelijen, William Brandt (Jeremy Renner), yang nantinya akan turut bergabung dalam kelompok yang dipimpin oleh Ethan, Ethan akhirnya memulai rentetan misinya dalam menemukan Hendricks dan mencegahnya dari memicu peraang nuklir antara dua negara adikuasa di dunia. Jelas bukanlah sebuah misi yang mudah. Sebelum dapat menemukan Hendricks, Ethan dan teman-temannya harus menemukan kode pemicu tenaga nuklir tersebut terlebih dahulu yang kini sedang berada di tangan Sabine Moreau (LĂ©a Seydoux), seorang wanita cantik yang berprofesi sebagai seorang pembunuh bayaran dengan tingkat kemampuan membunuh yang sangat menakutkan.
Mereka yang telah hafal dengan cara pengarahan Brad Bird seperti yang ditunjukkannya pada The Incredibles kemungkinan besar tidak akan merasa terlalu penasaran dengan cara Bird mengarahkan Mission: Impossible – Ghost Protocol. Sama seperti yang dilakukannya pada The Incredibles, Bird menghadirkan deretan adegan aksi yang begitu mengagumkan pada Mission: Impossible – Ghost Protocol. Tidak sekedar adegan aksi biasa, Bird mampu menghadirkan adegan-adegan aksi tersbeut dalam tingkatan intensitas yang begitu tinggi sehingga penonton akan dijamin dapat merasakan ketegangan penuh setiap kali adegan aksi tersebut hadir di dalam jalan cerita.
Namun, Bird bukanlah Michael Bay yang menghadirkan deretan adegan aksi dan ledakan tanpa mampu mengolah jalan ceritanya dengan lebih mendalam. Bird adalah seorang sutradara yang mengutamakan kualitas jalan cerita film yang ia arahkan. Atas dasar itu pula, jalan cerita Mission: Impossible – Ghost Protocol tetap mampu tampil memikat, berisi dan kadang cenderung berhasil tampil emosional. Walau melakukan modernisasi cerita dalam kapasitas yang tinggi, Bird juga tetap tidak lupa untuk tetap menjaga beberapa unsur nostalgia yang dimiliki oleh seri cerita franchise Mission: Impossible yang ia lakukan lewat pemilihan berbagai peralatan canggih yang digunakan karakter Ethan dan kelompoknya dalam memburu karakter Kurt Hendricks. Yang paling memiliki nuansa nostalgia tentu saja penggunaan berbagai topeng yang menyamarkan wajah asli mereka ketika mereka sedang berada dalam penyamaran. Selain itu, alat-alat berperan karakter Ethan dihadirkan sangat modern, canggih dan akan mampu membuat kagum setiap penontonnya.
Jadi… apakah Mission: Impossible – Ghost Protocol akan menjadi misi terakhir yang akan dilaksanakan oleh karakter agen Ethan Hunt? Menilai berdasarkan ending film ini, tidak jelas akan menjadi jawaban pasti. Namun, dengan apa yang berhasil diraih oleh Brad Bird dalam debut penyutradaraannya dalam sebuah film live-action ini, Mission: Impossible – Ghost Protocol masih mampu membuktikan bahwa film ini masih mampu berbicara banyak jika berada di tangan seorang sutradara yang mengerti bagaimana cara bersenang-senang yang tepat dengan material yang ia miliki. Tom Cruise sekali lagi membuktikan bahwa ia adalah seorang aktor yang dapat diandalkan. Jajaran pemeran yang memikat, humor yang cerdas dan kemudian berpadu dengan deretan adegan aksi yang menegangkan membuat Mission: Impossible – Ghost Protocol, dengan mudah, menjadi film aksi terbaik di sepanjang tahun 2011! Bravo, Brad Bird!
6. Fast Farious 5: Rio Heist
Fast Five (atau juga dikenal dengan Fast and Furious 5: Rio Heist). Kembali disutradarai oleh Justin Lin yang telah mengarahkan dua seri ini sebelumnya, The Fast and the Furious: Tokyo Drift (2009) serta Fast and Furious (2009), Fast Five kembali membawa seluruh jajaran pemerannya kembali dari beberapa seri sebelumnya – termasuk pasangan Dominic Toretto (Vin Diesel) dan Brian O’Connor (Paul Walker) namun tanpa kehadiran Leticia Ortiz (Michelle Rodriguez) yang karakternya harus tewas di seri sebelumnya – sekaligus memperkenalkan seorang karakter baru bernama Luke Hobbs yang diperankan oleh Dwayne Johnson yang kehadirannya jelas dilakukan untuk menyegarkan kembali kehadiran sisi action dari franchise ini.
Dengan naskah yang kembali ditulis oleh Chris Morgan, yang juga menulis naskah cerita dua seri franchise ini sebelumnya untuk Justin Lin, Fast Five mengisahkan mengenai pasangan Brian O’Conner (Walker) dan Mia Toretto (Jordana Brewster) yang setelah berhasil kabur dari kejaran pihak yang berwajib di akhir seri Fast and Furious kini tinggal bersama di Rio de Janeiro, Brazil. Sambil menunggu kedatangan Dominic Toretto (Diesel), Brian dan Mia setuju untuk membantu sahabat Dominic, Vince (Matt Schulze), dalam menjalankan rencananya untuk mencuri beberapa mobil yang ternyata dimiliki oleh Hernan Reyes (Joaquim de Almeida), yang dikenal sebagai pimpinan gangster paling ditakuti di Rio de Janeiro. Dibantu dengan Dominic yang akhirnya muncul di tengah-tengah aksi, tindakan ini jelas memicu Reyes untuk mengerahkan anak buahnya dan membunuh Dominic dan rekan-rekannya.
Dominic dan Brian sendiri menemukan bahwa benda yang paling diincar Reyes dari mobil-mobil tersebut adalah sebuahchip yang berisi seluruh data kekayaan dan kejahatan Reyes yang tersimpan di salah satu mobil. Penemuan chiptersebut kemudian memberikan ide bagi Dominic dan Brian untuk melakukan sebuah perampokan yang terakhir kalinya sebelum mereka benar-benar berhenti dan akhirnya hidup dengan tenang. Di saat yang sama, pemerintah Amerika Serikat sendiri mengirimkan agen Luke Hobbs (Johnson) untuk melacak keberadaan kawanan Dominic dan menahan mereka. Sebagai seorang agen yang tidak pernah gagal dalam tugasnya, Hobbs telah bertekad untuk menemukan Dominic dan rekan-rekannya walau dirinya harus menempuh berbagai cara untuk melakukannya.
Kunci dari keberhasilan Fast Five sendiri terletak pada naskah ceritanya yang harus diakui mampu tersusun lebih rapi dari naskah cerita beberapa seri franchise The Fast and the Furious sebelumnya. Walau menggunakan deretan karakter dalam jumlah besar, Morgan tetap memfokuskan Fast Five pada hubungan yang terjalin antara tiga karakter utama Dominic-Brian-Mia dan meminimalisir kehadiran kisah-kisah tambahan yang berasal dari karakter-karakter pendukung di film ini. Hasilnya, selain dari jalan cerita yang lebih jelas dan fokus, penonton dipastikan akan memiliki waktu lebih banyak untuk mencerna berbagai tampilan adegan aksi yang disajikan Justin Lin – yang jelas merupakan bagian paling esensial dari sebuah franchise yang memang tidak pernah mengutamakan kehadiran jalan cerita serta dialog yang cerdas dari naskah ceritanya.
Tetap menggunakan formula yang sama dan deretan karakter yang telah begitu familiar, Fast Five terbukti mampu tampil lebih cemerlang dari seri-seri The Fast and the Furious sebelumnya dengan menghadirkan naskah cerita yang lebih berfokus pada tugas utama yang akan dijalani daripada kisah pribadi para karakternya. Naskah cerita tersebut kemudian mampu dieksekusi dengan ritme cerita cepat yang terjaga dengan baik serta tata produksi yang mampu mendukung kehadiran deretan adegan aksi yang lebih banyak dan lebih spektakuler. Fast Five jelas akan mampu memenuhi ekspektasi setiap orang akan franchise ini: drama yang sederhana dan minimal namun ditimpali dengan kehadiran deretan aksi yang maksimal.
7. The Mechanic
The Mechanic adalah sebuah film action murni yang kembali menempatkan aktor asal Inggris, Jason Statham, dalam elemen terbaiknya: sebuah film action no brainer dimana ia dapat memamerkan otot sekaligus otaknya dalam memerankan seorang karakter tangguh, tak kenal kata takut namun tetap merupakan seorang yang sensitif ketika berhubungan dengan kehidupan pribadinya. Benar, Statham telah memainkan karakter tersebut berkali-kali semenjak namanya mulai menanjak dalam The Transporter(2002). Namun harus diakui, setelah sekian tahun berlalu, rasanya tak ada bintang action yang mampu tampil dengan daya tarik yang lebih kuat dari Statham di setiap filmnya.
The Mechanic sendiri merupakan film yang di-remake dari film berjudul sama yang dirilis pada tahun 1972 dengan bintang Charles Bronson, seorang bintang action lainnya yang sangat populer di masanya. Mengisahkan mengenai Arthur Bishop (Statham), seorang pembunuh bayaran, yang sedang membantu seorang pemuda, Steve McKenna (Ben Foster), untuk melupakan dendam yang dipendamnya pada seseorang yang telah tega untuk membunuh ayahnya, seorang pembunuh bayaran senior bernama Harry McKenna (Donald Sutherland). Tentu saja, Arthur sama sekali tidak akan menyinggung fakta bahwa ialah yang sebenarnya telah melakukan pembunuhan tersebut kepada Steve.
Naskah yang sangat familiar, dan setiap penonton mungkin telah dapat dengan mudah menebak bahwa keputusan Arthur untuk melatih Steve menjadi seorang pembunuh bayaran adalah sebuah keputusan yang akhirnya akan menempatkan dirinya sendiri dalam bahaya. The Mechanic bergerak ke arah tersebut, namun penulis naskah Lewis John Carlino dan Richard Wenk cukup cerdas untuk mengisi masa sebelum penonton mencapai titik tersebut dengan memasukkan berbagai tugas pembunuhan yang harus dihadapi kedua karakter utama sekaligus dijadikan sebagai sarana dimana kedua karakter tersebut mendapatkan pendalaman karakter.
Sutradara, Simon West (When a Stranger Call, 2006), melakukan pekerjaan yang cukup baik dalam menyusun rentetan adegan aksi yang terdapat di film ini. Disajikan dengan cara yang brutal, yang beberapa diantaranya terkadang cukup menyakitkan untuk dilihat, adegan-adegan aksi inilah yang menjadi nyawa The Mechanic, khususnya ketika film ini berhasil menawarkan beberapa trik baru yang mungkin belum pernah disaksikan di beberapa film lain yang ber-genre sama. Namun, deretan adegan aksi tersebut bukanlah sajian utama dari The Mechanic. Dua karakter utama yang saling bekerjasama – namun penonton tahu mereka saling mencurigai setiap gerakan satu sama lain – adalah daya tarik utamanya.
Statham masih menggunakan daya tarik yang sama dengan apa yang pernah ia tunjukkan dalam berbagai karakter yang pernah ia perankan di film sebelumnya. Begitu seringnya melihat Statham memerankan tipe karakter yang serupa membuat perannya di film ini terasa sangat dapat dinikmati.
8. The Descendants
Menerima kenyataan memang kadang tidak semudah mengucapkannya. Itulah yang dirasakan Matt King (George Clooney) saat ia menemukan bukti bahwa selama ini istrinya memiliki hubungan dengan pria lain. Apalagi saat itu, istri Matt sedang dalam keadaan koma setelah kecelakaan yang terjadi sebelumnya.
Dari luar hidup Matt King memang terlihat sempurna. Dengan istri dan dua orang anak serta tanah luas yang diwariskan leluhurnya, rasanya tak ada lagi yang kurang dari hidup Matt. Suatu ketika, Elizabeth (Patricia Hastie), istri Matt mengalami kecelakaan di laut dan mengalami koma. Matt terpaksa harus mengambil alih tugas Elizabeth mengurus dua anak mereka.
Ini bukan urusan mudah. Dua putri Matt, terutama Alexandra (Shailene Woodley), benar-benar sulit diatur. Hampir saja Matt menyerah saat ia dikejutkan kabar kalau Elizabeth selama ini ternyata berselingkuh. Mau tak mau Matt harus menghadapi kenyataan pahit ini. Ia lantas mengajak kedua putrinya menemui seorang broker bernama Brian (Matthew Lillard) yang kabarnya adalah orang ketiga dalam rumah tangga Matt. Di saat yang sama, Matt masih harus menghadapi tekanan untuk menjual tanah warisan yang selama ini ia kelola.(kpl/roc)
9. The Artist
Dalam 20 menit pertama, film “The Artist” akan membuat Anda menyengir kegirangan. Meskipun hampir tanpa dialog, hitam-putih, dan layar 4:3 (tidak ada layar lebar di sini), ini adalah film yang menjadi bahan pembicaraan di Cannes, dan bintangnya berhasil mendapatkan anugerah Aktor Terbaik.
Film ini seolah membawa dunia kita tenggelam ke dalam resesi yang mendalam. Hal yang sangat ironis bahwa sebuah film yang dibuat selama masa Depresi Besar, dimana semuanya serba mahal, sehingga harus menangkap imajinasi sendiri. Sebuah ironi, saya yakin, juga tidak hilang pada diri sutradara Michel Hazanavicius, karena ini adalah film yang sangat mengerti. Kepercayaan diri film ini sungguh mengagumkan, baik dalam kemampuan untuk “menjual” keberadaannya sendiri, maupun dalam hal memanipulasi harapan kita sebagai pemirsa.
Film dibuka dengan sebuah teriakan dari George Valentin (Jean Dujardin), “Saya tidak akan bicara!”
Dikemas dalam sebuah setting layaknya film dari akhir 1920-an, dengan penonton berpakaian mewah, dengan sarung tangan putih, ada yang tertawa terbahak-bahak, ada pula yang diam dan tenang. Film ini terasa asing dan aneh, bagi indera modern kita. Ini adalah film bisu tentang film bisu.Dan George Valentin adalah bintang film bisu ini yang dalam film ini merupakan bintang Hollywood. Dia aktor yang lucu, ramah dan selalu bercitra positif. Tapi seiring dengan kemajuan tahun 1920, dan mulai datangnya modernisasi, karirnya mendadak jatuh ketika ia menolak untuk merangkul teknologi baru. Kemudian bisakah kesempatan pertemuan dengan rising star, Peppy Miller (Berenice Bejo) menjadi jalan baginya untuk keluar dari keputusasaan?
Meskipun tanpa dialog, tetapi bukan The Artist adalah film tanpa suara. Bahkan film ini menggunakan suara yang mengesankan, dengan tidak adanya dialog. Adegan mengesankan ialah dimana ketika Valentin mengangkat gelas dan menaruhnya kembali, dan itu membuat kebisingan pertama dalam film. Kebisingan itu membuat Valentin dan kita tentu akan terkejut, yang menjadi salah satu dari kejutan di sepanjang film.
Film ini menampilkan pertunjukan yang bernada sempurna, dengan Dujardin memetakan penurunan Valentin dengan kehalusan. Ia sendiri juga seorang master komedi fisik, dengan beberapa adegan brilian tampil bersama anjing. Berenice Bejo yang memerankan Peppy Miller tampak manis, menarik, dan segar. Dan Anda mungkin akan dapat menerka bahwa akan terjadi semacam chemistry antara ia dan Valentin.
10. Midnight in Paris
Gil (Owen Wilson) adalah seorang penulis naskah film Hollywood yang sukses tetapi dia malah tidak puas dengan pekerjaannya itu. Dia lebih menginginkan menjadi seorang penulis novel. Bersama tunangannya, Inez (Rachel McAdams), mereka berada di Paris untuk suatu acara bersama orang tua dan teman-teman Inez.
Apa yang dilakukan Gil selama di Paris sangat bertolak belakang sekali dengan tunangannya, Gil hanya berkutat dengan novelnya yang tak kunjung selesai, Inez selalu berpesta dari satu tempat ke tempat lain. Gil yang sangat terobsesi dengan segala hal yang berbau sastra dan lukisan dan ingin tinggal di Paris, Inez yang hanya ingin tinggal di Malibu dan menganggap Paris hanyalah sebuah kota yang indah dan tempat yang pas untuk berpesta, akhirnya mereka berdua terpaksa untuk berpisah, dan mengurus kepentingan mereka masing-masing selama di Paris. Cara pandang mereka sangat berbeda sekali.
Menjadi penulis novel adalah keinginan yang sangat mengobsesi Gil sampai-sampai tiap malam dia bermimpi (berfantasi, ber-“time travel” atau apapun lah) berkunjung ke suatu tempat dan di tempat itu dia bertemu dengan para penulis novel idolanya. Yang paling penting, dia bertemu dengan seorang wanita “ilusi” yang menarik hatinya. Tiap malam, Gil selalu menghabiskan malamnya dengan wanita itu dan mendiskusikan novelnya dengan para penulis novel idolanya. Obsesi yang kuat akan hal-hal yang ia temui dalam ilusinya itu membuat Gil pun tidak bisa membedakan dunia fantasi dan dunia nyata..
Film yang ditulis dan diarahkan oleh sineas senior Hollywood Woody Allen ini merupakan sebuah film yang bergenre fantasy romantic comedy. Tapi tak seperti romcom biasanya, film ini lebih mempertontonkan keindahan-keindahan Paris, mulai dari keindahan bangunan-bangunan sampai pesta glamour a la Paris.
Film yang juga bergenre fantasy ini, otomatis hanya memposisikan Owen Wilson yang berperan sebagai Gil dalam tokoh sentral dari cerita film ini. Selama kurang lebih satu setengah jam, penonton akan disuguhi dengan potret-potret keindahan Paris diwaktu siang dan malam serta gilanya kehidupan fantasy si "freak" Gil yang dalam dunia ilusinya sendiri berkunjung ke beberapa tempat dan para penulis novel zaman 1920-an yang jadi idolanya sekaligus obsesinya.
11. Hugo
Tak ada yang tahu kalau selama ini Hugo Cabret (Asa Butterfield dan ayahnya (Jude Law) tinggal di relung-relung di balik dinding stasiun kereta api kota Paris. Untuk sementara waktu semuanya berjalan baik-baik saja namun situasi jadi memburuk saat ayah Hugo tiba-tiba menghilang. Kini Hugo harus menjalani hidupnya sendiri sambil memecahkan misteri yang sepertinya sengaja diwariskan sang ayah.
Ayah Hugo meninggalkan banyak barang aneh, termasuk robot yang sepertinya tidak bisa berfungsi dengan baik. Sambil berusaha menghidupi dirinya sendiri, Hugo mulai mencoba mengumpulkan beberapa petunjuk untuk mengungkap misteri yang diwariskan padanya ini. Jelasnya itu bukan usaha mudah karena Hugo juga harus tetap merahasiakan di mana selama ini ia tinggal.
Usaha Hugo mulai menemui titik terang saat ia bertemu Isabelle (Chloë Grace Moretz). Entah kenapa tapi Hugo begitu percaya pada gadis cilik ini. Dan yang lebih aneh lagi, sepertinya Isabelle adalah bagian dari misteri yang sepertinya tak terpecahkan ini. Tentu saja ini bukan tanpa risiko. Kalau Isabelle sudah tahu di mana Hugo tinggal, artinya, bisa saja rahasia ini juga bakal diketahui orang lain.
Martin Scorsese akhirnya mulai merambah dunia 3D, dunia yang selama ini tak mau disentuh sebagian besar sutradara kawakan. Mungkin karena pengaruh kesuksesanAvatar namun itu tak terlalu jadi masalah karena Scorsese pastinya tak akan sepenuhnya bertumpu pada teknologi ini.
Ada banyak nama besar yang bisa dijadikan jaminan film-film bermutu. Selain Scorsesesendiri, masih ada nama Chloë Grace Moretz, Ben Kingsley, dan Sacha Baron Cohen yang jadi pendukung film ini. Bahkan Johnny Depp pun ikut terlibat lewat rumah produksinya yang bernama Infinitum Nihil. Kisahnya sendiri diadaptasi dari novel karya Brian Selznick oleh penulis naskah John Logan.
@susedtyo